Sabtu, 19 November 2011

ogut

Boddhisatta Dewa Setaketu



OBON

Obon adalah serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan seputar tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō (kalender lunisolar). Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Buddha Jepang, tapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Buddha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Buddha yang disebut Urabon.

Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya.

Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jizōbon yang dilakukan seusai perayaan Obon.

Asal-usul


Obon di akhir zaman Edo (lukisan dari "Sketches of Japanese Manners and Customs")


Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Urabon (盂蘭盆?) yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja bon (盆?, nampan) ditambah awalan honorifik huruf "O." Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu, Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang semasa perayaan Obon.

Asal-usul tradisi Obon tidak diketahui secara pasti. Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke-8.

Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun.

Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon.

Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari 1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa dilangsungkan pada tanggal:

1. bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Tempō
2. 15 Juli menurut kalender Gregorian
3. 15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan dari kalender Tempō).

Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Prefektur Yamanashi dan Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō

Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender Gregorian.

Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Agustus.

Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus.

Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha.

Persembahan potongan terong dan mentimun di makam leluhur.



Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus.

Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang (Shūsen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory over Japan Day).

Tradisi dalam merayakan Obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya, tapi ada beberapa tradisi yang umumnya dilakukan orang di seluruh Jepang.

Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.

Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.

Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api yang disebut okuribi.

Acara menari bersama yang disebut Bon Odori dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka.

Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri) yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut malam.

Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil Shinto. Penyelenggara Bon Odori sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.

Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut yagura untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering mengundang pasar malam untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan Obon.

Persembahan permen jelly aneka warna untuk diletakkan di altar keluarga.


Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.

Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru pertama kali dialami oleh arwah orang meninggal yang baru saja peringatan 49 harinya selesai diupacarakan. Perlakuan khusus diberikan untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam bentuk pembacaan doa yang lebih banyak.

Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan Obon.

* Kendaraan dari terong dan ketimun


Kendaraan dari terong dan ketimun untuk arwah leluhur.


Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan yang disebut Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api atau potongan sumpit sekali pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi "sapi" sedangkan ketimun menjadi "kuda" yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu datang dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur bisa cepat sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa berjalan pelan dengan maksud agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah cepat-cepat pulang.

* Mendoakan setan lapar


Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha untuk menolong Gaki (setan kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar yang disebut Gakidana dan mendoakan arwah orang yang meninggal di pinggir jalan.

* Lampion Obon


Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang disebut bon chochin (lentera bon) dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan rumah yang dulu pernah ditinggalinya. Bon chochin terbuat dari washi dengan kaki penyangga dari kayu.

* Melarung lampion


Beberapa daerah memiliki tradisi tōrōnagashi berupa pelarungan lampion dari washi di sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk kembali ke alam sana. Ada daerah yang mempunyai tradisi shōrōnagashi yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion sebelum dilarung di sungai.

Mukaebi, api untuk menerangi jalan para leluhur


Liburan tidak resmi di Jepang sebelum dan sesudah hari raya Obon disebut liburan Obon (Obonyasumi) yang lamanya tergantung pada keputusan masing-masing perusahaan. Kantor-kantor dan pemilik usaha biasanya meliburkan karyawannya sebelum dan sesudah tanggal 15 Agustus selama 3 sampai 5 hari.

Moggallana

Moggallana, dikenal juga dengan Mahamoggallāna atau Mahamaudgalyayana, adalah salah satu murid terdekat Siddharta Gautama Buddha. di antara Arahat-arahat terkenal seperti Subhuti, Sariputta dan Mahakasyapa, ia dianggap sebagai murid terkemuka kedua Sang Buddha, bersama dengan Sariputta.

Lukisan dinding di sebuah vihara di Laos


Moggallana merupakan murid Sang Buddha yang memiliki kemampuan tersakti dibandingkan dengan murid-murid lainnya. Kemampuan yang dimiliki termasuk kemampuan membaca pikiran guna mengetahui kebohongan dari kebenaran, keluar dari tubuh fisiknya dan mengunjungi berbagai alam keberadaan, berbicara dengan para arwah dan dewa-dewa. Ia juga dapat melakukan hal-hal seperti berjalan menembus tembok, berjalan di atas air, terbang di udara, dan bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Berbagai Sutta dalam Tipitaka menunjukkan bahwa Moggalla berbicara dengan arwah orang yang telah meninggal guna menjelaskan kepada mereka keadaan mengerikan yang mereka alami dan memberikan pengertian akan kesusahan mereka sendiri, sehingga mereka dapat terbebaskan atau menerima hal tersebut. Moggallana juga dapat menggunakan kemampuan membaca pikiran guna memberikan pendapat yang baik dan sesuai kepada murid-muridnya, sehingga mereka meraih hasil dengan segera.

Moggallana yang bersahabat karib dengan Sariputta sejak masa kecil memulai masa pencarian spiritual mereka selama bertahun-tahun. Karena pencarian yang dilakukan mereka secara bersama-sama tidak membuahkan hasil, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi mencari ajaran yang tepat secara terpisah dan saling berjanji untuk mengabarkan satu sama lain barang siapa yang terlebih dahulu menemukan ajaran akan segera memberitahukannya pada yang lain. Pada kesempatan ini, Moggallan tidak cukup beruntung untuk bertemu dengan pertapa Assaji. Sariputta lah yang terlebih dahulu menemukan pertapa Assaji dan berhasil mencapai tahapan pemasuk arus (Sotapatti). Segera setelah Sariputta menemukan ajaran, beliau langsung mengabarkan pada Moggallana. Setelah Moggallana mendengar syair yang diulang kembali oleh Sariputta, beliau juga langsung mencapai tahapan pemasuk arus. Adapun syair terkenal pertapa Assaji adalah sebagai berikut: "Dari segala hal yang timbul karena suatu kondisi, Kondisinya telah diberitahukan oleh Tathagata, Dan juga pengakhirannya, Inilah yang diajarkan oleh Pertapa Agung (Buddha Gotama)." Disini perlu dilihat bahwa Sariputta mencapai tahapan pemasuk arus dari seorang Arahat, sedangkan Moggallana mencapai tahapan pemasuk arus hanya melalui seorang umat awam biasa yakni sahabatnya sendiri.

Moggallana wafat ketika ia berkunjung di Magadha. Beberapa pendapat mengatakan pemuja agama merajamnya hingga meninggal, pendapat lain mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh pencuri. Diketahui secara umum bahwa kematian Moggallana terjadi secara brutal. Ketika ditanya mengapa Moggallana tidak melindungi dirinya sendiri dengan kesaktian yang dimilikinya, dan mengapa seorang Arahat Agung menderita kematian yang sedemikian brutal, Buddha mengatakan bahwa Moggallana telah memiliki perbuatan karma buruk yang berat di kehidupan sebelumnya (ia telah membunuh orang yang dianggap sebagai orang tua sendiri dan itu merupakan salah satu perbuatan buruk yang sangat berat), ia dengan tulus menerima buah dari perbuatannya dan mempercepat kematian yang demikian, sehingga terjadi secepat mungkin. Lebih lanjut, Sang Buddha menyatakan bahwa bahkan degan kesaktian yang demikian tinggi hampir tidak berguna untuk menghindari karma seseorang, terlebih jika itu karma yang sangat berat.

Moggallana dalam Mahayana

Ullambana Sutta merupakan Sutra dari sekte Mahayana dimana Moggallana disebut. Sutra ini menuliskan topik mengenai sikap baik kepada orang tua, dan merupakan khotbah Shakyamuni Buddha kepada Moggallana. Di Jepang, Ullambana merupakan dasar berdirinya sekte Obon, yang memiliki kesamaan terhadap pemahaman Konfusianisme dan Neo-Konfusianisme mengenai penyembahan kepada para leluhur. Oleh karena hal inilah Ullambana seringkali menjadi bahan kritikan, dan sering juga disebut tidak otentik karena ajaran Konfusianisme seringkali tidak sesuai dengan Ajaran Sang Buddha.

Pada Sutra Teratai Bab VI (Ramalan tenang Yang Akan Terjadi), Sang Buddha meramalkan pencerahan murid-muridnya.
“ ... sesudah mencapai sedikit demi sedikit jalan ke-Bodhisattva-an di dalam kawasan Kegembiraan Batin, dia akan menjadi seorang Buddha bergelar Sang Tamalapatta berkeharuman cendana. Masa hidup Buddha itu akan menjadi 24 kalpa, tiada henti-hentinya kepada para dewa dan manusia dia akan mengkhotbahkan Jalan ke-Buddha-an. Para Sravaka-nya akan menjadi tak terhitung seperti pasir-pasir di sunggai Gangga. ”

Sariputta

Sariputta merupakan satu dari dua murid utama Sang Buddha. Ia menjadi seorang Arahat yang terkenal akan kebijaksanaannya dan digambarkan dalam tradisi Theravada sebagai salah satu murid penting Sang Buddha.

sariputta myanmar


Sariputta berasal dari keluarga Brahmana dan sudah memulai kehidupan spiritual ketika ia bertemu dengan ajaran Sang Buddha. Teman dekat Sariputta (Pāli: Mahāmoggallāna; Sansekerta:Mahāmaudgalyāyana), seorang petapa yang berkelana. Pada hari yang sama, mereka meninggalkan keduniawian dan menjadi murid Sañjaya Belaṭṭhaputta yang skeptik, sebelum berpindah kepada Buddhisme.

Setelah mendengar ajaran Sang Buddha melalui seorang Bhikkhu bernama Assaji (sansekerta: Asvajit), Sariputta mengikuti Sang Buddha dan menjadi pengikut ajarannya. Keduanya sering digambarkan besama-sama dengan Sang Buddha, dan interaksi antara Sariputta dan Mahamoggallana (yang terkenal akan kesaktiannya pada masa awal Buddhisme)

Pada suatu kejadian yang diilustrasikan dengan anekdot, dituliskan bahwa Sariputta sedang berdiam bersama Mahamoggallana di Kapotakandara. Sariputta sedang duduk bermeditasi di udara terbuka dengan kepala yang baru saja dicukur. Saat itu kepala Sariputta dipukul oleh roh jahat. Mahamoggallana yang melihat hal ini dengan 'mata-dewa'-nya (keahlian seperti seorang paranormal yang seringkali diberikan kepada bhikkhu Buddhis, demikian pula dengan petapa-petapa dari Asia Selatan), dan tidak berhasil mengingatkan Sariputta. Pukulan itu cukup keras, tapi pada waktu itu diceritakan bahwa, "Sariputta sedang tercerap dalam meditasi pencapaiannya; akibatnya dia tidak terluka sama sekali."

Dengan persetujuan dari Sang Buddha, Sariputta seringkali berkhotbah dan bahkan dalam beberapa kesempatan Sariputta sendirilah yang mengambil alih peran kepemimpinan - entah itu sebagai pembimbing dan tauladan yang terlatih, sebagai teman yang baik dan penuh perhatian, sebagai pelindung kesejahteraan para bhikkhu binaannya, maupun sebagai penjaga Ajaran Sang Buddha yang setia. Peranan inilah yang membuatnya dijuluki sebagai "Sang Panglima Dhamma" (Dhammasenāpati) dan juga dikenal sebagai pendiri tradisi Abhidhamma. Akan tetapi, Sang Buddha juga menegur Sariputta ketika ia tidak menjelaskan Dhamma sepenuhnya kepada seorang pangeran, atau ketika ia membiarkan sekelompok bhikkhu baru menjadi sangat berisik.

Akan tetapi, Sariputta merupakan salah satu murid yang sangat dipuja. Pada satu kesempatan Sang Buddha menyebutnya sebagai seorang anak spiritual sesungguhnya dan sebagai pemimpin pendamping pada pemutaran roda Dhamma.
“ Bila seseorang dapat mengatakan dengan kebenaran bahwa dia telah menguasai keahlian dan kesempuranaan sila-sila mulia, konsentrasi mulia, kebijaksanaan mulia dan pembebasan mulia, maka Sariputta lah yang dapat menyatakannya dengan kebenaran.

Bila seseorang dapat mengatakan bahwa dia anak sejati Tathagata, lahir dari kata-kataNya, lahirlah Dhamma, terbentuk dalam Dhamma, mewarisi Dhamma, tidak mewarisi kesenagnan duniawi, Sariputta lah yang dpat menyatakannya.

Sesudah aku, O bhikkhu, Sariputta lah pemutar roda Dhamma yang mulia, walaupun aku telah memutarnya terlebih dahulu.


Bila seseorang dapat mengatakan bahwa dia anak sejati Tathagata, lahir dari kata-kataNya, lahirlah Dhamma, terbentuk dalam Dhamma, mewarisi Dhamma, tidak mewarisi kesenagnan duniawi, Sariputta lah yang dpat menyatakannya.

Sesudah aku, O bhikkhu, Sariputta lah pemutar roda Dhamma yang mulia, walaupun aku telah memutarnya terlebih dahulu.

—Majjhima Nikaya 111, Anupadda Suta

“ Esensi Dhamma (dhammadhatu) telah begitu dipahami oleh Sarputta, O para bhikkhu, sehingga bila aku bertanya selama satu hari dalam kata-kata dan frase-frase berbeda, Sariputta akan membalas selama satu hari dalam kata-kata dan frase-franse. Dan bila aku bertanya padanya selama satu malam, atau satu hari-satu malam, atau dua hari-dua malam, atau bahkan hingga tujuh hari-tujuh malam, Sariputta akan menguraikan dengan rinci permasalah selama periode waktu yang sama, dalam berbagai kata-kata dan frase-frase. ”

Kematian

Stupa Sāriputta di Nalanda - dimana ia dilahirkan dan meninggal dunia.


Menurut Tipitaka, Sariputta meninggal (Parinibbana) pada saat purnama di bulan Kattika, yang menurut kalender surya jatuh pada bulan Oktober - November. Cunda, sebagai pelayan, membawa mangkuk dan jubah Sariputta dan pergi menuju Savatthi ke Hutan Bambu Jeta milik Anathapindikia. Sesampainya disana, ia pergi bertemu dengan Ananda dan menyampaikan berita kematian Sariputta. Ananda yang sedih, menyampaikan berita ini kepada Sang Buddha yang tetap dalam keadaan damai. Melihat kondisi Ananda, Sang Buddha berkata:
“ Tidakkah aku sudah mengajarkan padamu sebelumnya, Ananda, bahwa kita akan menderita akibat perpisahan dengan yang dekat dan yang kita cintai? Segala sesuatu yang terlahir, yang menjadi, hidup bersama, pasti akan mengalami perpisahan, bagaimana mungkin segala sesuatu dikatakan tidak seharusnya berpisah? Hal itu, sesungguhnya, adalah tidak mungkin. Oleh karena itu, Ananda, seolah-olah dari pohon berkayu keras sebuah batang besar dapat patah, demikian pula sekarang Sariputta telah meninggal dunia berpisah dari komunitas suci para bhikkhu. Sesungguhnya, Ananda, segala sesuatu yang terlahir, yang menjelma, hidup bersama, pasti akan mengalami perpisahan, bagaimana mungkin segala sesuatu dikatakan tidak seharusnya berpisah? Hal ini, sesungguhnya, adalah tidak mungkin. ”

Syair pujian Sang Buddha untuk Siswa Utamanya:
“ Kepada dia yang dalam lima kali seratus kelahiran, pergi mengembara tak berumah, mencampakkan kesenangan yang digenggam erat oleh hati, dan kegemaran yang bebas, dengan indria yang terkendali - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!

Relik Sariputta


Kepada dia yang, kokoh dalam kesabaran seperti bumi, sama sekali terkuasai mutlak oleh pikirannya, yang penuh kasih, kebaikan, damai, dan kokoh bagaikan bumi ini - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!
Dia yang bagaikan seorang pemuda tak berkasta dengan pikiran sederhana, memasuki kota dan menapaki jalannya dengan perlahan, dari rumah ke rumah dengan mangkuk peminta di tangannya, seperti inilah Sariputta - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!
Seseorang yang berada dalam kota ataupun hutan belantara, tidak melukai siapapun, (menjalani) hidup bagaikan seekor banteng dengan tanduk yang telah dipotong, seperti inilah Sariputta, yang telah memenangkan penguasaan atas dirinya sendiri - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!


Kepada dia yang, kokoh dalam kesabaran seperti bumi, sama sekali terkuasai mutlak oleh pikirannya, yang penuh kasih, kebaikan, damai, dan kokoh bagaikan bumi ini - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!
Dia yang bagaikan seorang pemuda tak berkasta dengan pikiran sederhana, memasuki kota dan menapaki jalannya dengan perlahan, dari rumah ke rumah dengan mangkuk peminta di tangannya, seperti inilah Sariputta - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!
Seseorang yang berada dalam kota ataupun hutan belantara, tidak melukai siapapun, (menjalani) hidup bagaikan seekor banteng dengan tanduk yang telah dipotong, seperti inilah Sariputta, yang telah memenangkan penguasaan atas dirinya sendiri - sekarang penghormatan diberikan kepada Sariputta yang telah parinibbana!

Atas persetujuan Sang Buddha, Sariputta kembali ke tempat kelahirannya, Nalaka, suatu perkampungan para Brahmana, karena ia ingin menunjukkan jalan kebenaran kepada ibu-nya yang masih belum mengikuti ajaran Sang Buddha.

Sariputta meninggal dunia di desa bernama Nalaka setelah berhasil menjelaskan ajaran Sang buddha kepada ibunya.

Relik yang diberikan oleh Cunda, atas petunjuk Sang Buddha, kepada Raja Ajatashatru (Sansekerta: Ajātashatru) disimpan di dalam Stupa yang dimuliakan oleh para pengikutnya. Pada sekitar 261 SM, Raja Dharmasoka (Ashok) membuka Stupa tersebut atas petunjuk dari Moggaliputtatissa yang menandai Sidang Agung ke III.

Sariputta dalam Mahayana

Penggambaran positive akan Sariputta dalam Tipitaka, dimana secara bersamaan Sariputta digambarkan sebagai seorang Arahat yang bijaksana dan berpengaruh, kedua setelah Buddha, penggambarannya di beberapa sumber Mahayana seringkali kurang menyenangkan. Dalam Vimalakirti Sutra dan Sutra Teratai (Lotus Sutra), Sariputta digambarkan sebagai suara dari Hinayana atau tradisi Sravaka, yang dipersembahkan dalam sutra-sutra Mahayana sebagai pengajaran yang "kurang piawai". Dalam sutra-sutra ini, Sariputta tidak dapat dengan sedia mengerti doktrin Mahayana yang dipersembahkan oleh Vimalakirti dan lainnya, dan ditegur atau dikalahkan dalam debat oleh beberapa teman bicara, termasuk seorang dewi menyalahkan asumsi Hinayana yang diberikan oleh Sariputta mengenai perbedaan jenis kelamin dan bentuk. Akan tetapi, di dalam Sutra Teratai (Lotus Sutra), Sang Buddha meramalkan bahwa Sarputta akan, satu hari, menjadi seorang Buddha.
“ Sariputta, dalam dunia yang akan datang, setelah kalpa-kalpa tak terhitung jumlahnya; setelah kau mengabdi ribuan keti pada para Buddha dan mempertahankan ajaran sejati serta menyelesaikan jalan para Bodhisattva; kau sendiri akan menjadi Buddha dengan nama Padmaprabha Tathagata, terpuja, bijaksana, sempurna, memahami dunia, pemimpin tanpa tanding, pembina, guru bagi dewa dan manusia. Yang mendapat Penerangan, Yang Dipuja DiDunia. Alamnya akan disebut Viraga; yang tanahnya datas dan lurus, murni dan permai, aman dan makmur, didiami oleh para penduduk surga buminya dari ratna manikam. Memiliki delapan jalan bersimpangan, dibatasi dengan tali kencana. Pada setiap jalan berdiri sejajar pepohonan indah sarat dengan buah dan bunga. Tathagata Padmaprabha pun akan mengajar dan membina segenap mahluk hidup dengan Tri-Yana. ”

Tesakuna Jataka

“Ini yang saya minta,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pemberian nasihat kepada Raja Kosala.

Dalam cerita ini, raja datang Auntuk mendengarkan khotbah Dhamma dan Sang Guru menyapanya dalam kata-kata berikut ini: “Paduka, seorang raja harus memerintah kerajaannya dengan benar, karena ketika seorang raja tidak benar, maka para pengikutnya juga menjadi tidak benar.”

Dan untuk menasihati dirinya dalam jalan yang benar seperti yang diceritakan di dalam Catukkanipāta (Buku IV), Beliau memberi tahu keburukan dan kebaikan dalam mengikuti dan menghindari jalan-jalan yang salah, dan menguraikan keburukan yang timbul dari kesenangan indriawi, membandingkannya dengan yang timbul dari mimpi dan sejenisnya, dengan berkata, “Dalam masalah orang-orang ini, Tak ada suap yang mampu menyingkirkan kematian yang merongrong, tak ada kebajikan yang mampu menenangkannya. Tak ada seorangpun mampu mengalahkan kematian dalam pertempuran, karena semuanya pasti akan mati.


Dan ketika mereka pergi ke dunia mendatang, selain perbuatan kebajikan mereka sendiri, mereka tidak memiliki perlindungan yang lainnya lagi. Oleh karena itu, mereka harus sungguh-sungguh meninggalkan penampilan yang rendah.

Demi keharuman nama baik mereka, mereka tidak boleh lalai, melainkan harus penuh perhatian dan menjalankan pemerintahan dengan benar. Bahkan seorang raja di masa lampau, sebelum Sang Buddha muncul, yang mengikuti nasihat dari yang bijak, memerintah dengan benar dan setelah meninggal terlahir kembali di alam surga,” dan atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala Brahmadatta memerintah di Benares dan tidak memiliki ahli waris, serta doanya untuk mendapatkan seorang putra atau seorang putri tidak terkabulkan.

Suatu hari, bersama dengan rombongan besar, ia pergi ke taman dan setelah bermain selama setengah hari di tamannya, ia meminta pengawalnya untuk membentangkan tempat duduk bagi dirinya di bawah kaki pohon sala yang besar. Setelah tidur siang yang singkat, ia terbangun dan ketika melihat ke atas, ia melihat sebuah sangkar burung di pohon itu.

Ketika melihatnya, keinginan raja untuk memilikinya pun muncul, dan dengan memanggil salah satu pengawalnya, ia berkata, “Panjat pohon itu dan lihat apakah ada sesuatu di dalam sangkar itu atau tidak.” Pengawal tersebut naik ke atas dan memberitahu kepada raja sewaktu menemukan tiga butir telur di dalamnya. “Kalau begitu, hati-hati untuk tidak menjatuhkan telur-telur itu,” kata raja. Setelah meletakkan kapas di dalam kotak kecil, raja meminta pengawal itu untuk turun dengan pelan dan meletakkan telur-telur tersebut di dalamnya.

Ketika telur-telur itu telah diletakkan, raja mengangkat kotak kecil tersebut dan menanyakan kepada menteri istananya telur-telur tersebut milik burung apa. Mereka menjawab, “Kami tidak tahu. Para pemburu pasti mengetahuinya.” Raja memanggil para pemburu dan menanyakan mereka. “Paduka,” kata mereka, “yang satu adalah telur burung hantu, yang satu adalah telur burung maynah55, dan yang satunya lagi adalah telur burung nuri.” “Jadi ada telur dari tiga jenis burung yang berbeda dalam satu sangkar?” “Ya, Paduka, ketika tidak ada hal yang ditakutkan, apa yang dititipkan dengan hati-hati tidak akan hancur.” Raja yang merasa senang tersebut berkata, “Mereka akan menjadi anak-anakku,” dan dengan memercayakan ketiga telur tersebut dalam tanggung jawab tiga menteri istananya, raja berkata, “Telur-telur ini nantinya akan menjadi anak-anakkku. Jagalah mereka dengan hati-hati dan di saat anak-anak burung tersebut menetas keluar dari cangkangnya, beritahukan saya.” Mereka pun merawat telur-telur tersebut dengan baik.

Pertama, telur burung hantu yang menetas, dan sang menteri memanggil seorang pemburu dan berkata, “Cari tahu jenis kelamin dari anak burung ini, apakah ia seekor burung jantan atau betina,” ketika ia telah memeriksa dan mengatakan bahwa itu adalah seekor burung jantan, sang menteri pergi menjumpai raja dan berkata, “Paduka, putramu telah lahir.” Raja merasa gembira dan melimpahkan banyak harta kekayaan kepada dirinya dengan berkata, “Jaga ia dengan hati-hati dan berikan ia nama Vessantara,” raja menyuruhnya pergi. Ia pun melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

Kemudian beberapa hari sesudahnya, telur burung maynah menetas, dan menteri yang kedua juga sama halnya dengan yang pertama, setelah meminta seorang pemburu untuk memeriksa jenis kelaminnya dan mendengar bahwa itu adalah seekor burung betina, pergi menjumpai raja dan memberitahukannya tentang kelahiran putrinya. Raja merasa gembira dan juga memberikannya banyak harta dan dengan berkata, “Jagalah putriku dengan hati-hati dan berikan ia nama Kuṇḍalinī, ” raja menyuruhnya pergi. Ia pun juga melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

Kemudian beberapa hari setelahnya, telur burung nuri menetas dan menteri yang ketiga, ketika diberitahu oleh pemburu yang memeriksa jenis kelamin burung tersebut bahwa itu adalah seekor burung jantan, pergi dan memberitahukannya kepada raja tentang kelahiran putranya. Raja merasa gembira dan setelah memberikannya banyak harta, ia berkata, “Adakan sebuah perayaan untuk kehormatan putraku dengan meriah dan berikan ia nama Jambuka,” kemudian menyuruhnya pergi. Ia pun juga melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

Ketiga burung ini tumbuh di dalam rumah ketiga menteri tersebut dengan segala pelayanan selayaknya anggota kerajaan.

Raja membicarakan mereka dengan terbiasa mengatakan ‘putraku’ dan ‘putriku.’ Para menterinya, satu sama lain, mengolok-olok raja dengan berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan oleh raja. Ia selalu mengatakan burung-burung itu sebagai putra dan putrinya.” Raja berpikir, “Para menteri ini tidak mengetahui tingginya kebijaksanaan anak-anakku. Saya akan membuatnya menjadi jelas kepada mereka.” Maka ia mengutus salah satu menterinya kepada Vessantara untuk mengatakan, “Ayahmu ingin menanyakan sebuah pertanyaan padamu, kapankah bisa beliau datang dan menanyakannya?” Sang menteri pergi menjumpai dan memberi hormat kepada Vessantara, kemudian menyampaikan pesan tersebut. Vessantara memanggil menteri yang merawatnya dan berkata, “Ayahku,” mereka memberitahu saya, “ingin menanyakanku sebuah pertanyaan. Di saat ia datang, kita harus menunjukkan kepada dirinya dengan segala hormat,” dan ia bertanya, “Kapankah beliau bisa datang?” Menteri tersebut berkata, “Mintalah ia datang pada hari ketujuh dimulai dari hari ini.” Vessantara yang mendengar ini berkata, “Mintalah ayahku datang pada hari ketujuh mulai dari hari ini,” dan dengan mengatakan ini ia meminta menteri itu kembali. Menteri itu pergi dan memberitahu raja.

Pada hari ketujuh, raja memerintahkan agar genderang ditabuh di seluruh kota dan pergi ke rumah tempat putranya tinggal. Vessantara menjamu raja dengan kehormatan yang besar dan bahkan menunjukkan keramahtamahan kepada para budak dan pelayan sewaan. Setelah menyantap makanan di rumah Vessantara dan menikmati pelayanan yang mewah, raja kembali ke kediamannya. Kemudian ia menyuruh pengawalnya untuk membuat sebuah paviliun yang besar di halaman istana, dan setelah membuat pengumuman ke seluruh kota dengan menabuh genderang, ia duduk di dalam paviliun megahnya yang dikelilingi oleh rombongan besar dan mengirimkan pesan kepada seorang menteri istana untuk membawa Vessantara menghadap.

Menteri tersebut membawa Vessantara datang dengan duduk di sebuah dipan emas. Kemudian Vessantara duduk di pangkuan ayahnya dan bercanda dengannya. Di tengah-tengah rombongan tersebut, raja menanyakan kepadanya tentang kewajiban seorang raja dan mengucapkan bait pertama berikut:

Saya ingin bertanya kepada Vessantara—burung terkasih,
semoga kamu diberkati—bagi seseorang yang memimpin
orang-orang lainnya, jalan hidup seperti apakah yang terbaik?

Tanpa langsung menjawab pertanyaannya, Vessantara memarahi raja karena kelalaiannya dan mengucapkan bait kedua berikut:

Kaṁsa, Raja Kāsi (Kasi), dahulunya begitu lalai,
mendesak diriku, putranya, untuk menunjukkan perhatian
yang lebih meskipun diriku telah penuh perhatian.

Setelah memarahi raja dalam bait ini dan dengan mengatakan, “Paduka, seorang raja harus memerintah kerajaannya dengan benar, berjalan dalam tiga kebenaran,” dan untuk memberitahukan kewajiban seorang raja, ia mengucapkan bait-bait berikut:

Pertama-tama seorang raja harus menghindari kebohongan,
kemarahan dan ketidakhormatan;
Ia harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan
oleh seorang raja, jika tidak, berarti ia mengingkari janjinya.

Jika ia berbuat salah di masa lampau dengan terhanyut
oleh nafsu dan dusta, maka sudah pasti ia akan hidup
untuk menuai hasilnya sekarang dan belajar
untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi.

Ketika seorang kaum kesatria menjadi lengah,
tidak benar terhadap nama dan ketenarannya;
jika semua kekayaannya tiba-tiba habis,
maka sang kesatria (raja) itu dipandang sebagai noda.

Ketika saya bertanya kepada Dewi Keberuntungan,
ia menjawab, ‘Kami senang berada dalam diri orang
yang bergiat dan bersemangat, yang terbebas dari iri hati.’

Ketidakberuntungan, yang selalu menghilangkan keberuntungan,
senang berada dalam diri orang dengan keburukan;
yaitu makhluk berhati keras yang di dalam dirinya berkembang iri hati.

Wahai raja, bertemanlah dengan semua orang
sehingga semuanya dapat menjaga keselamatanmu;
Hindarilah ketidakberuntungan, jadilah tempat
yang disenangi oleh keberuntungan.

Wahai penguasa Kasi, orang beruntung
yang dilengkapi dengan keteguhan akan menghabiskan
musuh-musuhnya sampai tuntas dan pasti akan memperoleh kejayaan.

Dewa Sakka yang agung selalu melihat keteguhan
di dalam diri seseorang dengan mata yang awas,
karena ia memandang keteguhan sebagai suatu kebajikan
dan di dalamnya terdapat kebaikan sejati.

Para pemusik surgawi (gandhabba), Brahma, dewa dan manusia,
semuanya, berusaha menandingi raja yang demikian,
dan para makhluk dewata berdiri di dekatnya,
melantunkan semangat dan keteguhannya.

Penuhkan perhatian dalam melakukan apa pun yang benar,
jangan menyerah pada keburukan;
Bersungguh-sungguhlah dalam segala sesuatu,
tidak ada pemalas yang mendapatkan kebahagiaan.

Inilah bagian dari kewajibanmu, untuk mengajarimu
jalan hidup yang seharusnya diikuti:
Ini sudah cukup untuk mendapatkan kebahagiaan
bagi seorang teman atau memberikan rasa sakit
yang menyedihkan bagi seorang musuh.

Demikianlah Vessantara dalam satu bait kalimat memarahi kelalaian raja dan kemudian untuk memberitahukan kewajiban seorang raja dalam sebelas bait itu menjawab pertanyaannya dengan pemahaman seorang Buddha. Hati orang banyak tersebut dipenuhi dengan kekaguman dan keheranan, dan suara tepuk tangan yang tidak terhitung banyaknya pun terdengar.

Raja larut dengan kegembiraan dan berbincang kepada para menteri istananya untuk menanyakan kepada mereka apa yang harus dilakukan bagi putranya karena ia telah berbicara demikian. “Ia harus diangkat sebagai Panglima Perang, Paduka.” “Baiklah, saya akan memberikannya jabatan sebagai Panglima Perang,” dan raja menunjuk Vessantara ke dalam jabatan yang lowong tersebut. Sejak saat itu, dengan ditempatkan di dalam kedudukan tersebut, Vessantara menjalankan keinginan ayahnya. Selesailah kisah tentang Pertanyaan Vessantara ini.

Kemudian setelah beberapa hari, sama seperti sebelumnya, raja kembali mengirimkan pesan kepada Kuṇḍalinī. Pada hari ketujuh, Kuṇḍalinī datang berkunjung. Setelah kembali ke rumah, raja mengambil tempat duduk di tengah paviliun dan memberi perintah untuk membawa Kuṇḍalinī menghadap kepadanya. Dan ketika Kuṇḍalinī duduk di sebuah dipan emas, raja menanyakan kepadanya tentang kewajiban seorang raja dan mengucapkan bait kalimat berikut:

Kuṇḍalinī , yang memiliki hubungan dengan kerajaan,
dapatkah kamu menjawab pertanyaanku: bagi seseorang yang memimpin
orang-orang lainnya, jalan hidup seperti apakah yang terbaik?

Ketika demikian raja menanyakan kepadanya tentang kewajiban seorang raja, Kuṇḍalinī berkata: “Paduka, menurutku Anda sedang mengujiku, dengan berpikir ‘Apa yang dapat dikatakan oleh seorang wanita kepadaku?’ Saya akan memberitahumu, dengan membuat kewajibanmu sebagai seorang raja hanya dalam dua maksim56,” dan ia mengucapkan bait-bait kalimat berikut:

Permasalahannya, temanku, diutarakan
dalam dua maksim yang cukup sederhana:
Janganlah mengambil apa yang tidak dimiliki,
dan pertahankanlah apa yang telah dimiliki.

Agar dapat melihat tujuanmu dengan jelas
maka jadikanlah orang-orang yang bijak,
yang tidak melakukan perusakan, yang tidak menipu,
yang bebas dari bermabuk-mabukan dan
bebas perjudian, sebagai menteri-menterimu.

Orang yang demikian dapat menjagamu dengan tepat
dan juga harta kekayaanmu dengan segala perhatian,
seperti sais yang menunggangi keretanya, begitu juga mereka,
dengan keahliannya, mengemudikan kepada kesejahteraan rakyat kerajaan.

Jagalah dengan baik orang-orangmu,
dan gunakan harta kekayaanmu pada waktu yang tepat;
Jangan pernah memercayakan pinjaman atau simpanan
kepada orang lain, melainkan dirimu sendiri yang harus menyerahkannya.

Anda harus mengetahui dengan baik apa yang harus
dan tidak boleh dilakukan baik untuk keuntungan maupun kerugianmu;
Selalu salahkan orang yang memang bersalah
dan berikan bantuan kepada mereka yang pantas mendapatkannya.

Anda sendiri, wahai paduka, harus memerintah
orang-orangmu dalam setiap jalan yang benar;
Kalau tidak, kerajaan dan harta kekayaanmu
akan menjadi mangsa bagi para pejabat yang tidak benar.

Awasi bahwa tidak ada yang dilakukan baik oleh dirimu sendiri
maupun oleh orang lain dengan tergesa-gesa, karena orang dungu
yang bertindak demikian sudah pasti akan hidup
untuk menyesali perbuatannya itu.

Jangan memberi jalan pada kemarahan karena jika melampaui batasnya,
maka ia akan menuntun kepada kehancuran
bagi raja dan harta kekayaannya.

Pastikan sebagai raja, Anda tidak salah arah menuntun rakyat;
Kalau tidak, semuanya baik laki-laki maupun perempuan
akan seperti tersesat di samudra permasalahan.

Jika seorang raja terbebas dari segala rasa takut dan
kesenangan indriawi adalah tujuannya, maka di saat harta kekayaan
dan semuanya habis, raja itu akan dipandang sebagai noda.

Inilah kewajibanmu, mengajarkan kepadamu jalan yang seharusnya diikuti;
Jadilah orang yang cekatan dalam segala perbuatan kebajikan,
bebas dari bermabuk-mabukan dan tidak melakukan perusakan;
Lakukanlah kebajikan, karena orang yang tidak melakukan kebajikan
akan terlahir di alam yang menyedihkan.

Demikianlah Kuṇḍalinī juga mengajari raja tentang kewajibannya dalam sebelas bait kalimat. Raja merasa senang dan dengan menyapa para pejabat istananya, ia bertanya kepada mereka dengan mengatakan, “Apa yang harus diberikan kepada putriku sebagai hadiah atas perkataannya yang demikian ini?” “Sebagai seorang Bendahara, Paduka.” “Baiklah kalau begitu, saya berikan kepadanya kedudukan Bendahara,” dan raja menunjuk Kuṇḍalinī ke dalam jabatan yang lowong tersebut. Sejak saat itu, Kuṇḍalinī berkuasa atas kas kerajaan dan bertindak atas nama raja. Selesailah kisah tentang Pertanyaan Kuṇḍalinī ini.

Setelah beberapa hari berlalu, sama seperti sebelumnya, raja kembali mengirim pesan kepada Jambuka yang bijak. Setelah pergi ke sana pada hari ketujuh dan dijamu dengan meriah, raja kembali ke rumah dan dengan cara yang sama mengambil tempat duduk di tengah paviliun. Seorang menteri mendudukkan Jambuka yang bijak di dipan berlapis emas. Kemudian untuk menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya, raja mengucapkan bait kalimat berikut ini:

Kami telah bertanya kepada saudaramu,
sang pangeran, dan juga Kuṇḍalinī yang cantik;
Sekarang, Jambuka, adalah giliranmu untuk mengatakan
kepadaku tentang kekuatan yang tertinggi.

Demikianlah dalam menanyakan sebuah pertanyaan kepada Sang Mahasatwa, raja tidak bertanya dengan cara yang sama seperti ia bertanya kepada saudaranya yang lain, melainkan dengan cara yang khusus. Kemudian burung bijak tersebut berkata kepadanya, “Baiklah, Paduka, dengarkan dengan penuh perhatian. Saya akan memberitahukanmu semuanya,” dan seperti orang yang meletakkan sebuah dompet yang berisikan seribu keping uang pada tangan yang dijulurkankan keluar, ia memulai pemaparan tentang kewajiban seorang raja:

Di antara orang-orang yang mulia di dunia ini,
kita melihat ada lima jenis kekuatan.

Dari kelima jenis itu, kekuatan dari jasmani
adalah urutan yang paling akhir;
Kekuatan dari kekayaan adalah yang berikutnya.

Paduka, di urutan ketiga adalah kekuatan dari kawan;
Kekuatan dari status kelahiran diperhitungkan
sebagai urutan keempat dalam ketenarannya;

Dan orang yang bijak hampir memiliki semuanya ini.
Dari semua kekuatan ini, yang terbaik adalah
kekuatan dari kebijaksanaan;

Dengan kekuatan ini, seseorang menjadi bijak
dan membuat keberhasilannya sendiri.

Jika sebuah kerajaan kaya jatuh ke dalam kekuasaan
orang dungu yang malang, maka orang lain
akan merampasnya dengan kekerasan.

Melindungi simpanan seseorang adalah mendapatkan
lebih dan lebih banyak lagi, dan inilah hal-hal
yang saya ingin Anda ingat;

Karena orang dungu dengan perbuatan jahatnya,
seperti sebuah rumah yang dibangun dari alang-alang,
akan roboh dan hanya menyisakan kepingan dan puing-puing.

Demikianlah Bodhisatta dalam syair ini menyanjung lima kekuatan dan mengangkat kekuatan dari kebijaksanaan, seperti seseorang yang menembusi cakra bulan dengan kata-katanya, ia menasihati raja dalam sebelas bait kalimat di atas.

Kepada orang tuamu, raja kesatria, berikanlah perbuatan benar
dan demikian dengan menjalani kehidupan yang benar,
Anda akan menuju ke alam surga57.

Setelah mengucapkan sepuluh bait kalimat tentang jalan kebenaran, masih untuk menasihati raja, ia mengucapkan bait kesimpulan berikut:

Inilah kewajibanmu, mengajarkan kepadamu
jalan yang seharusnya diikuti: Ikutilah kebijaksanaan
dan selamanya akan bahagia, dengan mengetahui keseluruhan dari kebenaran.

Betapa pun mulianya seorang raja, yang takdirnya
adalah untuk memimpin, ia akan sangat sulit untuk bertahan hidup
jika ia menjadi orang yang dungu.

Kebijaksanaan ini menguji perbuatan
dan mengembangkan ketenaran;
Barang siapa yang diberkahi dengan kebijaksanaan
masih mampu mendapatkan kesenangan bahkan dalam keadaan menderita.

Tidak ada orang yang tanpa perhatian dalam jalan mereka
mampu mencapai kebijaksanaan, melainkan harus berhubungan
dengan orang yang bijak dan benar. Kalau tidak, mereka tetap menjadi tidak tahu.

Barang siapa yang bangun awal tepat pada waktunya
dan memberikan perhatian tanpa lelah terhadap panggilan tugas
yang beraneka ragam, pasti berhasil dalam kehidupan ini.

Tidak ada seorangpun yang memberi perhatian
pada hal-hal yang tidak baik atau bertindak dengan tanpa perhatian
akan mendapatkan hasil yang bagus dalam segala hal yang dilakukannya.

Tetapi orang yang selalu dengan perhatian berada di jalan yang benar,
pasti mendapatkan kesempurnaan dalam segala hal yang dilakukannya.

Demikianlah Sang Mahasatwa, seolah-olah seperti menurunkan Sungai Gangga surgawi, mengajarkan Dhamma dengan segala pemahaman seorang Buddha. Dan kumpulan orang banyak tersebut memberikannya kehormatan yang besar dan mengeluarkan suara tepuk tangan yang tidak kalah meriahnya. Raja merasa senang dan dengan menyapa para menterinya, bertanya, “Bagaimana seharusnya putraku, Jambuka yang bijak, dengan paruh seperti buah jambu yang segar, dihadiahi karena telah berbicara demikian?” “Dengan kedudukan sebagai Panglima Tertinggi, Paduka.” “Kalau begitu saya memberikan kepadanya kedudukan tersebut,” kata raja, dan menunjuk Jambuka ke jabatan yang lowong itu. Sejak saat itu, dengan kedudukan Panglima Tertinggi, ia menjalankan perintah dari ayahnya.

Kehormatan yang besar diberikan kepada tiga burung tersebut, dan mereka bertiga memberikan nasihat dalam masalah pemerintahan maupun spiritual. Dengan mengikuti nasihat dari Sang Mahasatwa dalam pemberian dana dan perbuatan bajik lainnya, raja terlahir di alam surga.

Para menteri, setelah melakukan pemakaman raja, berkata kepada burung-burung tersebut, “Tuanku Jambuka, raja memerintahkan untuk memberikan payung kerajaan kepadamu.” Sang Mahasatwa berkata, “Saya tidak memerlukan kerajaan, Anda sekalian sajalah yang memimpinnya dengan penuh perhatian,” dan setelah memantapkan orang banyak tersebut dalam sila, ia berkata, “Gerakkanlah pengadilan,” dan ia meminta orang untuk menuliskan kebenaran dari pengadilan di sebuah papan emas dan kemudian ia menghilang masuk ke dalam hutan.

Dan nasihatnya itu berlanjut terus berlaku selama empat puluh ribu tahun.

Dengan uraian cara pemberian nasihat kepada raja ini, Sang Guru memberikan khotbah Dhamma ini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, Kuṇḍalinī (Kundalini) adalah Uppalavaṇṇā, Vessantara adalah Sāriputta, dan burung Jambuka adalah saya sendiri.”

Petapa Sumeda Sang Boddhisatwa ( calon Buddha )

Empat Asankkheyya-Kappa + 100.000 Maha-Kappa yang sangat lama dimasa lampau telah berlalu, terdapat sebuah kota yang makmur bernama Amaravati. Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal , indah dan menyenangkan. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman yang indah, memiliki persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang cukup. Kaya akan barang-barang berharga untuk dinikmati oleh masyarakatnya. Kota ini menghangatkan hati para dewa dan manusia.

Di kota Amaravati ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedha. Ibunya adalah keturunan Brahmana dari keluarga Brahmana dari generasi ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga ia adalah seorang Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.. Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya-raya dan baik. Ia tidak dapat dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.

Sehubungan dengan kekayaannya : Ia memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia mempelajari tiga Kitab-Veda : Iru, Yaju,dan Sama. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat.

Orang tua Sumedha meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda.Penjaga harta keluarga membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu-delima, mutiara, dan lain-lain dan memberitahukan pada Sumedha tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya tersebut serta menyerahkannya pada Sumdedha.

Setelah melalui perenungan yang mendalam, Sumedha memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan pergi hidup bertapa.

Sebelum pergi menjadi petapa, Sumedha melakukan Mahadana. Dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravati, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahadana kepada semua orang tanpa membedakan status miskin atau kaya. Setelah melakukan Mahadana, Sumedha sang calon Buddha masa depan, melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedha mendekati pegunungan Himalaya, memerintahkan dewa yang bernama Vissukamma untuk mempersiapkan sebuah tempat tinggal bagi Sumedha yang nantinya digunakan Sumedha untuk menetap sementara, karena akhirnya Sumedha memutuskan untuk meninggalkan gubuk yang dipersiapkan Dewa Sakka dan anak buahnya tersebut, dan memilih untuk tinggal di bawah pohon.

Setelah menemukan pohon yang sesuai untuk didiami, Sumedha tinggal dibawah pohon tersebut. Sumedha hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam tiga postur : duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian tingkat Jhana ( Empat Rupa-Jhana dan Empat Arupa-Jhana ) dan lima kekuatan batin tinggi ( Abhinna ).

Munculnya Buddha-Dipankara

Setelah petapa Sumedha berhasil dalam pertapaan-Nya, mencapai delapan tingkat pencapaian Jhana dan lima kekuatan batin tinggi seperti telah disebutkan sebelumnya, di dunia ini muncul seorang Buddha yang bernama Dipankara, Raja dari Tri-Loka ( Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu ).

Disertai empat ratus ribu Arahanta, Buddha-Dipankara mengunjungi kota Rammavati dan berdiam di Vihara Sudassana. Sementara itu Sumedha sedang menikmati kebahagiaan Jhana di dalam hutan dan sama sekali tidak mengetahui kemunculan Buddha-Dipankara di dunia ini.

Mengetahui kedatangan Buddha Dipankara di vihara Sudassana, penduduk Rammavati, setelah makan pagi, datang membawa barang-barang untuk keperluan pengobatan seperti mentega, ghee, dan lain-lain, juga bunga dan dupa untuk dipersembahkan kepada Buddha Dipankara. Pada akhir khotbah tersebut, mereka mengundang Buddha beserta murid-muridNya untuk makan keesokan harinya.

Sumedha Terbang di Angkasa

Esoknya penduduk Rammavati melakukan persiapan seksama untuk melakukan dana besar-besaran ( asadisa-mahadana ). Sebuah paviliun dibangun, bunga teratai biru yang bersih dan lembut bertebaran di dalam paviliun ; udara segar diberi wewangian empat jenis pengharum, dan berbagai macam persiapan lainnya.

Ketika persiapan selesai dilakukan di dalam kota, para penduduk mulai dengan pekerjaan memperbaiki jalan yang akan dilalui Buddha untuk memasuki kota. Dengan tanah mereka menambal lubang-lubang yang disebabkan oleh banjir dan meratakan tanah yang berlumpur dan tidak rata. Mereka juga melapisi permukaan jalan dengan pasir putih bagaikan mutiara, menebar bunga dan beras dan menanam pohon pisang lengkap dengan tandan buahnya di sepanjang jalan itu.

Pada waktu itu, Sumedha Sang Petapa meninggalkan pertapaanNya dan ketika ia melakukan perjalanan angkasa, ia melihat penduduk Rammavati berkumpul dan bergembira dalam pekerjaan memperbaiki dan menghias jalan. Merasa ingin tahu apa yang sedang terjadi dibawah, ia turun dari angkasa dan berdiri sementara para penduduk memperhatikannya

Kemudian Petapa Sumedha bertanya pada penduduk, untuk apa mereka melakukan persiapan besar-besaran tersebut, dan para penduduk menjawab, “Yang Mulia Sumedha, telah muncul didunia Buddha Dipankara yang tiada bandingnya, yang telah menaklukkan lima kejahatan Mara, Ia adalah Raja terbesar di seluruh dunia, kami memperbaiki jalan ini untuk-Nya.”

Petapa Sumedha merasa gembira mendengar kata “Buddha” yang diucapkan penduduk Rammavati. Ia mengalami kebahagiaan batin yang luar biasa dan mengulang-ulang kata “Buddha, Buddha” ia tidak dapat mengendalikan kebahagiaan yang luar biasa itu muncul dalam dirinya.

Karena kebahagiaan dan perasaan religius yang mendalam, Petapa Sumedha kemudian merenungkan dalam-dalam,”Aku akan menanam benih kebajikan yang baik di tanah yang subur yaitu Buddha Dipankara ini, untuk melakukan perbuatan baik, yang sulit dan sangat jarang dapat dilakukan, juga untuk menyaksikan saat-saat bahagia munculnya seorang Buddha. Saat-saat bahagia itu sekarang telah datang kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.”

Dengan pikiran seperti itu, Sumedha meminta kepada para penduduk untuk memberi bagian sedikit jalan untuk petapa Sumedha, sebab ia ingin berpartisipasi dalam pekerjaan memperbaiki jalan tersebut. Kemudian, penduduk dewa memberinya satu ruas jalan yang panjang, becek dan sangat tidak rata yang sangat sulit diperbaiki. Hal ini dikarenakan para penduduk percaya, bahwa Petapa Sumedha adalah Petapa yang sakti yang pasti mampu menyelesaikan pekerjaan yang sulit tersebut. Dan Sumedha pun dengan bahagia menerima bagian jalan yang harus dikerjakannya tersebut.

Sebelum Sumedha menyelesaikan pekerjaannya, Buddha Dipankara tiba diiringi 400.000 Arahanta, yang semuanya telah memiliki enam kemampuan batin-tinggi (Abhinna).

Sumedha mengorbankan dirinya

Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ), dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di langit biru.

Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000 Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.

Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an

Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara ? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”

“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasi dari perbuatanku yang tiada bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”

“ Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehiduapn, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.

Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara

Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”

Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.

Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha

Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :

“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”

Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah :

1. Ia adalah manusia
2. Ia adalah laki-laki
3. Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4. Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5. Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6. 6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
7. Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8. Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan ummat manusia dan para dewa.

Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.

Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”

Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi penghormatan.

Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,” Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”

Setelah Buddha Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan dupa ). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi ( Gandhabba ) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.

Setelah Buddha Dipankara dan keempat ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan, Sumedha bangun dengan gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan, ia duduk bersila diaas tumpukan bunga-bunga yang ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan manusia, kemudian merenungkan :

“ Aku telah berhasil mencapai Jhana dan lima kemampuan batin. Di sepuluh ribu alam semesta, tidak ada petapa yang menyamaiku. Aku tidak melihat seorang pun yang sama denganku dalam hal kekuatan batin.” Dan Sumedhapun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan luar biasa.

Rohantamiga Jataka

Ketika pemerintahan Raja Brahmadatta di Benares, Ratu Khema bermimpi bahwa seekor rusa berbulu keemasan duduk di singgasana raja membabarkan Hukum Kesunyataan. Dari mimpi ini sang ratu minta pada suaminya untuk membawa “rusa emas” ke istana agar Ratu Khema dapat mendengarkan khotbahnya.
Perintah raja lagi-lagi pada pemburu, dan pemburu memasang jerat. Yang kena jerat adalah raja rusa bernama Rohanta, Sang Bodhisatva yang akan terlahir terakhir kalinya sebagai Pangeran Siddhartha, mempunyai rakyat 80.000 ekor rusa, punya tanggungan merawat ayah ibunya yang sudah tua dan buta. Katika kena jerat, adik jantannya bernama Cittamigga dan adik betinanya bernama Sutanta menunggu saudaranya. Sang pemburu yang menjerat berdialog dengan ketiga rusa tadi. Dia bertanya, mengapa satu rusa kena jerat, dua rusa menunggu, bukannya lari menyelamatkan diri. Raja Rusa Rohanta menjelaskan bahwa kedua rusa jantan betina adalah saudaranya, mereka lahir dari ayah dan ibu yang sama. Keduanya tidak meninggalkan saudara yang mengalami musibah, celaka kena jerat.
Kata-kata tersebut membuat sang pemburu terharu. Selanjutnya Cittamiga menjelaskan, bahwa Raja Rusa Rohanta saudaranya adalah pemimpin bijaksana yang berani berkorban demi keselamatan 80.000 ekor rusa rakyatnya, bahkan sekarang merawat ayah ibunya yang buta dalam gua. Sang pemburu merenung. Kalau dia membunuh Rusa Rohanta, maka 80.000 ekor rusa akan kehilangan pemimpin sehingga ada kemungkinan akan tercerai berai dan tidak terjaga kelestarian hidupnya, ditambah lagi dua rusa tua yang buta akan mati tanpa perawatan. Dengan perenungan ini, sang pemburu kemudian melepaskan Raja Rusa Rohanta. Setelah dibebaskan, Raja Rusa baru mengetahui bahwa pemburu ini sebenarnya mengemban tugas untuk mempersembahkan “rusa emas” kepada Raja Brahmadatta. Rusa Rohanta minta sang pemburu mengusap punggung rusa dengan kedua tangannya. Yang terjadi, bulu rusa keemasan menempel pada tangan sang pemburu. Dengan tempelan bulu tersebut sang pemburu dapat menceriterakan bahwa dia telah bertemu dengan “Rusa Emas”, dan dengan kekuatan bulu itu pulalah sang pemburu dapat mengulang pemba- baran tentang “Hukum Kesunyataan” yang didengar dari Rusa Rohanta.
Raja mendengar awal pembabaran merasa bahagia, mempersilahkan sang pemburu duduk pada singgasana. Setelah selesai pembabaran Raja Brahmadatta menghadiahkan sebuah subang permata, seratus keping emas serta sejumlah hewan peliharaan. Ternyata Sang Pemburu tidak bersedia menerimanya, bahkan pamit kepada Raja Brahmadatta untuk meninggalkan keduniawian menjadi pertapa. Raja kemudian mengirimkan hadiah untuk sang pemburu kepada istri dan keluarganya.
Setelah itu Sang pemburu menuju ke lereng pengunungan Himalaya melatih Delapan Jalan Yang Utama, kehidupan berikutnya terlahir di alam Brahma. Raja Brahmadatta yang melaksanakan kebajikan karena memahami Hukum Kesunyataan setelah kematiannya terlahir dalam alam surga. Isi khotbah Rusa Rohanta tentang perbuatan bajik seseorang kepada ajah bunda, istri dan anak, demikian juga perbuatan bajik terhadap para pertapa, memelihara alam semesta serta segenap hewan sebagai penunjang ego sistemnya. Dengan melaksanakan hal ini, pada kelahiran berikutnya paling tidak akan terlahir dalam alam sorga.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls